Langsung ke konten utama

[Ulasan Film:] In This Corner of The World (Kono Sekai no Katasumi ni) - 2017


Sepanjang hidup saya, baru dua kali saya nonton film animasi dua dimensi di bioskop. Yang pertama sewaktu menyaksikan Tonari No Totoro (1988) produksi Studio Ghibli, arahan filmaker kenamaan Hayao Miyazaki. Waktu itu film Tonari No Totoro ini diputar eksklusif selama 7 hari di Paragon XXI dalam rangka Festival The World of Ghibli Jakarta. Yang kedua kalinya adalah film Kono Sekai no Katasumi ni atau In This Corner of The World, film yang dirilis tahun 2016 di Jepang dan kebetulan ditayangkan di beberapa bioskop Indonesia mulai tanggal 14 Juni 2017. Film kedua yang saya sebut ini akhirnya saya tonton di Cinemaxx Javamall Semarang, dan penontonnya mungkin cuma 15an orang. Tidak mengherankan sebenarnya, mengingat animo masyarakat terhadap film anime negeri Sakura yang tak sebegitu besar dibanding film berbudget jor-joran buatan Hollywood.Terlebih, film animasi ini tayang bersisian dengan raksasa DCEU (WonderWoman) dan blockbuster dari Tom Cruise (The Mummy). Ini juga bukanlah yang pertama kali saya nonton film dimana isi teater tak sampai 30 penonton. Sebelumnya waktu nonton SITI (2015) isinya hanya ada 18 penonton. Lalu film hitam putih Tiga Dara (1956) hanya ada 12 penonton saja. Tak masalah, malah lebih asik karena ambience nonton yang tidak dipenuhi distraksi dari penonton-penonton alay yang hobi menyalakan seluler atau berisik sepanjang film.

Cerita film In This Corner of The World berpusat pada Suzu Urano, seorang gadis kikuk dan pelamun, tapi pandai menggambar, yang tinggal di desa Eba, sebuah desa di tepi laut di wilayah Hiroshima. Selama 2 jam kita menyaksikan perjalanan hidup Suzu, mulai dari masa kanak-kanaknya bersama adik perempuannya (Sumi), abangnya (Yoichi), dan keluarganya, yang seperti lazimnya penduduk desa tepi pantai menjalankan usaha rumput laut. Seharusnya yang bertugas mengantarkan rumput laut ke kota seberang adalah Yoichi si anak tertua, namun karena suatu hari Yoichi sedang sakit akhirnya Suzu diminta naik perahu ke kota seberang. Di kota ini dia melihat jajanan caramel, permen, dan es krim yang dipajang di etalase. Karena ceroboh dan kurang awas, Suzu pun kesasar dan tau-tau sudah berada di dalam sebuah keranjang yang dipikul oleh pria berbulu lebat. Selain Suzu, di dalam keranjang itu ternyata ada seorang anak laki-laki seusianya.

"Kita sedang diculik" kata si anak lelaki sambil bersedekap, ketika Suzu bertanya-tanya kenapa dia bisa sampai ke dalam keranjang.

Kalo menurut taksiran saya, umur si anak laki-laki dan Suzu kurang lebih 7-8 tahun. Tapi suaranya dong... tua. Dari hasil googling, pengisi suara Suzu adalah Rena Nonen, sedangkan vokal si anak laki-laki (yang belakangan kita ketahui bernama Shusaku Hojo dan akhirnya menjadi suami Suzu ketika dewasa) disuarakan oleh Yoshimasa Hosoya. Dua-duanya penyanyi dan cukup sering wara-wiri di dunia seni peran. Meskipun cukup baik, saya merasa suara mereka terlalu "tua" dan matang untuk karakter berusia 8 tahun. Kesannya jadi likwo, cah cilik tapi tuwo. Akan lebih baik jika pengisi suara Suzu masa kecil disuarakan oleh aktor cilik, kemudian baru disuarakan oleh Rena Nonen ketika dewasa.

Adegan film pun berlanjut mengikuti Suzu di masa sekolah (dipuji gurunya karena pintar menggambar), bertemu kawannya (termasuk naksir teman sekelasnya tapi tak berani bilang), di tengah keluarga (sering dibully oleh abangnya), hingga ketika mereka menyeberangi pantai ketika surut untuk pergi ke rumah nenek. Gambar-gambar dan sketsa cantik yang dibuat oleh Suzu Urano bikin saya ngebet pengen beli Faber Castell dan belajar menggambar saat itu juga. Bagus banget, maah...

Sampai 1/3 awal film, saya masih belum ngeh bagaimana inti cerita film In This Corner of The World. Jujur saja, saya sama sekali tidak menonton trailernya, apalagi baca sinopsisnya. Yang saya ketahui hanya dua hal : pertama, film ini sudah menyabet banyak penghargaan di Jepang. Dua, film ini bercerita tentang dua saudara yang terpisah karena bom Hiroshima. Dengan premis yang menyangkut perang dan keluarga, plus poster film yang dinominasi biru cerah namun tetap berkesan sendu inilah, dari awal saya sudah mengantisipasi bahwa In This Corner of The World akan dibumbui kisah mendayu-dayu keluarga yang terpisah karena perang Pasifik dan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.

"Ini pasti film sedih," tuduh saya ketika mengantre film. "Siap-siap nangis nih kayaknya."

Tapi sepanjang 128 menit film berjalan, toh tidak ada drama mengharu-biru tentang perpisahan dua keluarga. Ekspektasi saya buyar. Ternyata saya nggak nangis, hehehe. Betul memang filmnya bercerita tentang Jepang tahun 1912 - 1945, yang tadinya damai tenang kemudian terlibat perang melawan sekutu Amerika hingga kemudian luluh lantak diserang bom atom. Namun peristiwa dan cukilan timeline sejarah diceritakan dari sudut pandang Suzu si gadis pelamun. Sudut pandang orang pertama serba-tau inilah yang menggiring penonton untuk menyaksikan potret keluarga kecil di desa Kure di tengah kecamuk kapal-kapal perang dan pesawat tempur yang hilir mudik di atas rumah mereka. Dengan penceritaan yang runut dan detil seperlunya yang memadai, sudut pandang ini juga yang membuat penonton merasa akrab dengan Suzu dan dunianya, hingga mengenali kebingungan dan kegelisahannya. Mula-mula penonton diajak melihat masa kanak-kanak Suzu yang cukup ceria walau tidak mewah. Menginjak usia 18 tahun, Suzu sudah dipinang oleh lelaki yang dia sendiri tak tau namanya. Diboyong dan dinikahi di usia belia membuat Suzu mau tak mau harus belajar cara menjahit, memasak, berinteraksi dan beradaptasi dengan keluarga suaminya di desa Kure, yang notabene satu jam dari Hiroshima dan menjadi pangkalan perang serdadu Jepang. Polah Suzu yang kikuk dan ceroboh benar-benar memancing tawa, sekaligus realis. Misalnya ketika dia bertemu dengan kakak iparnya yang judes. Atau ketika dia lupa mencopot kimononya saat upacara nikah. Canggung, malu-malu, gugup, dan kikuk, tapi bukankah semua orang yang pertama menikah juga begitu? Apalagi umurnya masih 18 tahun, mana nggak ada yang ngasih briefing pula. Boro-boro ada wedding organizer.

Film kemudian maju ke setting beberapa tahun selanjutnya, dimana penonton menyaksikan adaptasi Suzu di lingkungan barunya, termasuk mengakrabi suasana perang. Dentum pesawat, sirene darurat, penyuluhan tentang perang, bahkan kupon makanan yang semakin hari semakin berkurang jatahnya. Lagi-lagi begitu sederhana namun realis. Familier dengan negeri kita sendiri ketika perang tengah berkecamuk di beberapa kota era tahun 1945-1950an. Begitulah suasana ketika perang. Segalanya harus dihemat, bahkan memaksa orang harus kreatif memasak dengan tanaman herbal yang bisa ditemui. Perhatikan adegan ketika Suzu mencoba berhemat dengan memasak nasi ala Samurai. Lucu, tapi juga ngenes, dan membuat saya bersyukur karena tidak pernah mengalami masa buruk perang yang sebenar-benarnya. Bumbu romansa antara Suzu dan suaminya juga menjadi cerita menarik. Jangan dibayangin adegan ala hentai ya. Nggak bakalan ada. Kemunculan kakak ipar Suzu, Keiko Hojo, yang judes justru membuat para penonton tertawa. Keiko yang sensitif (dan mungkin merasa tersaingi karena ibunya punya menantu kesayangan baru) dari awal sudah menunjukkan sikap rejektif terhadap Suzu dengan omongan yang ketus. Saya yakin kalo dibuat versi sinetron Indonesia, Keiko akan diperankan oleh Anna Tarigan.

Salah satu fragmen yang menyentuh adalah hubungan Suzu dengan Harumi, bocah cilik berusia 6 tahun yang merupakan anak dari Keiko. Berlainan watak dengan ibunya yang judes, Harumi adalah anak manis yang suka mengamati kapal perang karena dulu sering diceritakan oleh kakaknya. Seolah menjadi oposisi untuk sifat cerianya, kehadiran Harumi justru adalah tragedi dalam film ini. Bagaimana kasih sayang Suzu kepada Harumi dan kedekatan mereka, hingga akhirnya suratan nasib memisahkan mereka benar-benar bagian yang membuat penonton terhenyak.


Menuju momen puncak pengeboman Hiroshima, tidak banyak yang bisa diamati dari film ini. Temponya memang naik, tapi hampir tidak ada hal baru selain suasana yang semakin mencekam dan sirene darurat semakin sering dibunyikan. Dan ketika filmnya hampir mencapai konklusi, penonton sudah paham efeknya. Jepang yang luluh lantak dan menyatakan kalah.

"Tidak perlu menangis. Menangis hanya akan membuang-buang garam," demikian kutipan salah satu karakter di film.

Dan memang begitulah resolusi filmnya dihadirkan. Seberapapun inginnya Suzu marah, yang merupakan hal yang amat wajar, dia tak punya siapa-siapa untuk disalahkan. Untuk apa menangis, karena toh keadaan tak akan bertambah baik. Yang sudah pergi tetap tak akan kembali, termasuk abang lelakinya.

Perang sepertinya usai, tak ada lagi desing pesawat. Tapi kenapa tidak ada kelegaan? Dimana kebahagiaan dan kedamaian yang mereka impikan akan terjadi setelah perang? Kepiluan ini kembali digambarkan ketika Suzu kembali ke kampung halamannya di Hiroshima. Semuanya hancur. Orang-orang yang selamat berjalan limbung, saling bertanya pada orang yang lewat tentang saudara mereka yang jadi korban. Semakin miris ketika layar mempertunjukkan grafis tentang tubuh yang meleleh karena radiasi bom atom. Kalau film animasi ini dibuat versi live actionnya, pasti bakal lebih keren dari Pearl Harbour. Mel Gibson sepertinya cocok juga mengomandoi filmnya, mengingat apa yang dia lakukan di Hacksaw Ridge.

Dalam perjalanan pulang setelah menonton film ini, saya masih terngiang flashback kehidupan Suzu yang awalnya berwarna biru-hijau, khas hati anak-anak yang sejuk dan innocent. Kemudian saat dewasa, sekelilingnya menjadi merah. Ending filmnya bisa dikatakan happy ending, ketika Suzu akhirnya menemukan kebahagiaan baru untuk melengkapi rumah tangganya.


Perang memang hal yang buruk. Dan sangat kejam. Ratusan kali kita mendengar derita para korban perang, kehilangan orang-orang yang mereka cintai, dan bangunan yang luluh lantak. Semua dilakukan (konon) untuk kehidupan yang lebih baik, untuk martabat dan kehormatan negara. Dan ketika perang usai meninggalkan kekacauan dan kehancuran, pada akhirnya kita hanya bisa merelakan. Mengikhlaskan apa yang sudah direnggut, dan membangun kembali awal yang baru. Seperti Suzu yang akhirnya mendapat keluarga baru dan sebagai penghiburan dia mencoba mereka-reka apa yang dihadapi keluarganya yang hilang. In This Corner of The World adalah salah satu film animasi yang cerkas mempersembahkan penggalan fragmen pahit kejamnya perang, sekaligus bukti bahwa animasi dua dimensi masih efektif menjadi media penyampaian cerita di tengah dominasi animasi modern Hollywood. Great piece of art.

Tabik!


Devi Okta



(PS : Ini pertama kalinya saya nulis ulasan film di blog. Biasanya kalo habis nonton film, saya bakal nyerocos nulis mini-review di Facebook Devi Okta. Semoga kalian suka ya, dengan ulasan ini. Kalau ada kekurangan, monggo dikasih kritik biar saya bisa berbenah. Makasih..)

Komentar

  1. Great review kak! Tulisannya nyaman dibaca, gak seperti blog ku, hehe. Animasi yang membawa pesan anti war memang great drama. Ditambah slice of life nya yang membawa penonton masuk ke cerita. Good movie!

    BalasHapus
  2. Halo Afandy, terima kasih sudah mampir ke blog ini dan baca postingan saya.
    Setuju banget. Saya sebenarnya bukan penikmat film genre perang ataupun animasi, tapi gara-gara film "In This Corner of The World" akhirnya malah suka nyimak film perang dan film animasi dua dimensi lain. :D
    Cheers!

    BalasHapus
  3. Siapaborang yg duduk terbakar?

    BalasHapus
  4. kujuga suka movie ini, btw live-actionnya sudah ada kak, tapi aku belum nonton :"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

i can't believe i have been three years here (part 4 - End)

Chapter #4 : The Planning World  Ah, akhirnya diterusin juga ceritanya. Pada waktu postingan ini pertama dibuat, saya genap tiga tahun kerja di PT USG, hence the title. Kemudian saya lanjutkan ceritanya, lalu sempat vakum, lalu posting lagi cerita lanjutannya, dan vakum lagi cukup lamaaaaaaa di chapter tiga. Ketika chapter empat ini saya susun, saya sudah bekerja di perusahaan ini selama uhmm... delapan puluh sembilan bulan. Sudah menjelang sewindu. Masih ingat kan, hitungan matematika sewindu itu berapa tahun? Gara-gara cerita ini juga, banyak sekali email-email yang masuk ke Gmail dari para calon pelamar kerja yang nanya-nanya soal PT USG kepada saya. Umumnya mereka ini para lulusan baru alias fresh graduate yang lagi nyari kerja, terus mereka lihat lowongan di PT USG sebagai PPMC. Karena nggak paham apa itu PPMC, mereka akhirnya buka Google, terus ngetik keyword "PPMC." Hasil penelusuran mereka salah satunya mengarah ke postingan ini Rata-rata dari mereka adala

Hompimpa (Sebuah puisi dari Tengsoe Tjahjono)

Puisi Hompimpa karangan Tengsoe Tjahjono pertama kali saya ketahui saat kelas 1 SMP. Tepatnya saat classmeeting yang diadakan pasca ulangan umum. Sekolah saya SMP Negeri 6 Semarang mengadakan beberapa lomba. Yah, buat ngisi hari aja sih. Supaya murid-muridnya nggak nganggur gitu. Waktu itu Bu Tamsih (salah satu pengajar Bahasa Indonesia) mengadakan lomba deklamasi puisi Hom-Pim-Pa untuk anak-anak kelas tiga. Syaratnya : saat deklamasi puisi, satu kelas harus maju semua. Tidak boleh hanya satu orang yang maju deklamasi mewakili kelas mereka. Pokoknya, satu kelas maju bareng. Tampil di tengah-tengah lapangan. Ditonton oleh kelas satu dan kelas dua. Asik ya? Tampil rombongan, gitu. Jadi bisa dilihat kekompakan masing-masing kelas. Kalau satu orang salah, ya satu kelas bisa ancur. Pernah ada kelas yang tampil bagus banget di awal. Setelah memasuki bagian tengah-tengah, ada murid yang suaranya cempreng dan cengengesan (sungguh kombinasi yang absurd, hehe) yang tentu saja membuat semua penon

I can't believe i have been three years here

my desk, June 14th 2013 I can't believe i have been three years here. Yep, it is my 3rd year in PT Ungaran Sari Garment. After all the stormy periods, exhausted time, crazy works and many stuffs, I am still alive. Let me emphasize. I - CAN - SURVIVE. Hahaha.. Wow. Waktu cepat sekali berlalu ya? Ceritanya bakal panjang nih. Kalo kamu udah bosen, mending pindah channel aja gih. Biar kayak sinetron, saya akan membagi cerita kilas balik ini dalam beberapa chapter. Dan ini, ladies and gentlement, adalah bagian satu. Chapter #1 : The Beginning Almost three years ago, in 14th June 2010 I was called to be receptionist at Front Office PA1. Nggak kebayang senengnya waktu saya dikasih tau : Kamu keterima. Besok senin mulai masuk ya. Ya Robbi, saya bakal kerja! Setelah hampir satu minggu bolak-balik buat interview, test tertulis, dan test kesehatan, akhirnya besok Senin saya resmi jadi seorang karyawan. Saya bukan anak sekolah lagi! Saya bakal cari duit sendiri! Ay, karam